Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Tari Terancam Punah

JAKARTA, KOMPAS – Beragam tari tradisional langka di Indonesia terancam punah seiring kepergian para maestro tari tanpa mewariskan keterampilan mereka. Melalui tari, keragaman budaya dapat dilacak. “Banyak maestro tari meninggal dunia tanpa kita membuat dokumentasi dari tari-tari yang mereka kuasai. Tanpa dokumentasi, sulit memproduksi tari-tari langka,” kata Deddy Luthan, seniman dan peneliti tari tradisional dari Institut Kesenian Jakarta, Kamis (22/12). Beberapa seni tari yang nyaris punah diantaranya tari lengger Banyumas, tari topeng Slawi. Tari-tari itu hanya dikuasai lengkap oleh satu seniman yang lanjut usia. Rabu malam, Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta menampilkan tiga maestro yang seni tarinya hampir punah, yaitu Mbok Dariah (tari lengger), Suwitri (tari topeng Slawi), dan Onih (tari topeng Betawi). Penampilan itu bagian dari Maestro! Maestro! #4 yang digelar rutin setiap tahun. Ketiga maestro tari berusia di atas 70 tahun. Mbok Dariah—penari lengger pria—berusia 83 t

Alas Tidur Manusia Purba

Peneliti arkeologi menemukan artefak alas tidur manusia purba di Afrika Selatan berusia sekitar 77.000 tahun. Artefak berupa fosil pada lapisan batuan itu menunjukkan pemakaian tanaman purba setempat sebagai alas tidur. Artefak itu ditemukan para ahli geologi dari Universitas Tubingen, Jerman, yang mengekskavasi situs goa karang Sibudu di Afrika Selatan. Hasil temuan menunjukkan, 73.000 tahun yang lalu penghuni situs purba membakar tanah sebelum meletakkan tanaman sebagai alas tidur mereka. “Cara ini mungkin untuk menyingkirkan hama dan sampah,” kata Christopher Miller, seorang peneliti, seperti dikutip Livescience, Kamis (8/12). Miller mengambil contoh sedimen untuk memeriksa lapisan geologi. Dari lapisan tadi diketahui tanah itu dari periode 77.000-38.000 tahun lalu. Menurut hasil penelitian, tanaman Cryptocarya wodii yang dipakai alas tidur ini bermanfaat sebagai pelindung gigitan nyamuk dan serangga. “Memodifikasi tempat tinggal merupakan aspek penting kebudayaan manusia,” kata M

'Sorry' Budak-budak, Hindia Belanda Paling Parah

Egidius Patnistik | Rabu, 7 Desember 2011 | 10:05 WIB AMSTERDAM, KOMPAS.com — Belanda perlu waktu 64 tahun untuk minta maaf secara resmi atas pembantaian di Rawagede tahun 1947. Demikian pemberitaan harian Belanda, NRC Handelsblad . Menurut Belanda, sebanyak 150 warga dibunuh, tetapi menurut Indonesia sebanyak 431 warga. Delapan janda dan anak korban menerima ganti rugi dari negara Belanda masing-masing senilai 20.000 euro. Pembantaian dilakukan tentara Belanda yang hendak mempertahankan Hindia Belanda sebagai negara jajahan kerajaan. NRC menulis, ganti rugi terlambat bagi Saih Bin Sakam, satu-satunya warga laki-laki Rawagede yang selamat dari cengkeraman maut tahun 1947. Dia meninggal pada Mei tahun ini di usia 88 tahun. "Para janda Rawagede gembira dengan permintaan maaf itu," tulis harian pagi Trouw . Permintaan maaf ini menyusul putusan pengadilan di Den Haag, tulis Trouw . Menurut hakim, Belanda t