'Sorry' Budak-budak, Hindia Belanda Paling Parah
Egidius Patnistik | Rabu, 7 Desember 2011 | 10:05 WIB
AMSTERDAM, KOMPAS.com — Belanda perlu waktu 64 tahun untuk minta maaf secara resmi atas pembantaian di Rawagede tahun 1947. Demikian pemberitaan harian Belanda, NRC Handelsblad.
Menurut Belanda, sebanyak 150 warga dibunuh, tetapi menurut Indonesia sebanyak 431 warga. Delapan janda dan anak korban menerima ganti rugi dari negara Belanda masing-masing senilai 20.000 euro.
Pembantaian dilakukan tentara Belanda yang hendak mempertahankan Hindia Belanda sebagai negara jajahan kerajaan. NRC menulis, ganti rugi terlambat bagi Saih Bin Sakam, satu-satunya warga laki-laki Rawagede yang selamat dari cengkeraman maut tahun 1947. Dia meninggal pada Mei tahun ini di usia 88 tahun.
"Para janda Rawagede gembira dengan permintaan maaf itu," tulis harian pagi Trouw. Permintaan maaf ini menyusul putusan pengadilan di Den Haag, tulis Trouw. Menurut hakim, Belanda tidak bisa mengatakan pembantaian sudah kedaluwarsa sehingga tidak perlu minta maaf dan membayar kompensasi.
Trouw menulis Belanda sudah membayar 850.000 euro untuk pembangunan Rawagede, yang kini disebut Balongsari. Menurut Trouw, perkembangan di Rawagede ini bisa memicu tuntutan kompensasi atas nama korban-korban tentara Belanda lainnya di Hindia Belanda.
Harian pagi Belanda, De Pers, tak kalah mengangkat masalah Rawagede. "Maaf, budak-budak, Hindia Belanda paling parah," demikian judul artikel di halaman tengah koran De Pers berkaitan dengan permintaan maaf Belanda kepada Rawagede.
"Apa halaman paling hitam dalam sejarah kami, sampai kami harus minta maaf sedalam-dalamnya?" tanya De Pers. Koran pagi ini menyusun "formula maaf": E = D x l dibagi J kali V, untuk menentukan negara mana paling layak menerima permintaan maaf Belanda. E adalah permintaan maaf. Semakin banyak korban tewas (D) semakin tinggi pula faktor E; semakin jauh masanya (J) semakin berkurang pula tuntutan minta maaf.
De Pers juga melihat faktor pengecut (l antara 0 dan 1): sekeji apa perbuatan Belanda, adakah korban lain selain korban tewas? Variabel terakhir adalah tanggung jawab (V, antara 0 dan 1): sejauh mana perbuatan (atau justru sikap pasif) yang menimbulkan korban tewas, merupakan dampak langsung kebijakan pemerintah? De Pers menghitung keperluan minta maaf berdasarkan formula di atas. Koran pagi ini melihat periode mulai 1830, tahun didirikannya Belanda dalam bentuk sekarang ini.
De Pers menghitung keperluan minta maaf bagi empat periode hitam: pembantaian di Rawagede; Holocaust (pemusnahan bangsa Belanda oleh Nazi Jerman) di Belanda; jatuhnya daerah kantong Srebrenica; dan sistem perbudakan di Suriname. Dari keempat peristiwa ini, Rawagede-lah yang harus dimintai maaf sedalam-dalamnya.
Pembantaian 9 Desember 1947 adalah puncak gunung es, karena di Éxcessennota' (nota ekses) masih tercatat banyak tindakan berdarah lainnya yang dilakukan tentara Belanda di Hindia Belanda. Belanda yang baru saja dibebaskan dari pendudukan Jerman, justru melakukan kekerasan selama bertahun-tahun di Hindia Belanda. Menurut De Pers 10 orang Indonesia mati untuk satu orang Belanda. Mengingat ini semua, maka, demikian De Pers, Indonesialah yang paling layak dimintai maaf secara resmi.
Sumber: http://www.kompas.com/
AMSTERDAM, KOMPAS.com — Belanda perlu waktu 64 tahun untuk minta maaf secara resmi atas pembantaian di Rawagede tahun 1947. Demikian pemberitaan harian Belanda, NRC Handelsblad.
Menurut Belanda, sebanyak 150 warga dibunuh, tetapi menurut Indonesia sebanyak 431 warga. Delapan janda dan anak korban menerima ganti rugi dari negara Belanda masing-masing senilai 20.000 euro.
Pembantaian dilakukan tentara Belanda yang hendak mempertahankan Hindia Belanda sebagai negara jajahan kerajaan. NRC menulis, ganti rugi terlambat bagi Saih Bin Sakam, satu-satunya warga laki-laki Rawagede yang selamat dari cengkeraman maut tahun 1947. Dia meninggal pada Mei tahun ini di usia 88 tahun.
"Para janda Rawagede gembira dengan permintaan maaf itu," tulis harian pagi Trouw. Permintaan maaf ini menyusul putusan pengadilan di Den Haag, tulis Trouw. Menurut hakim, Belanda tidak bisa mengatakan pembantaian sudah kedaluwarsa sehingga tidak perlu minta maaf dan membayar kompensasi.
Trouw menulis Belanda sudah membayar 850.000 euro untuk pembangunan Rawagede, yang kini disebut Balongsari. Menurut Trouw, perkembangan di Rawagede ini bisa memicu tuntutan kompensasi atas nama korban-korban tentara Belanda lainnya di Hindia Belanda.
Harian pagi Belanda, De Pers, tak kalah mengangkat masalah Rawagede. "Maaf, budak-budak, Hindia Belanda paling parah," demikian judul artikel di halaman tengah koran De Pers berkaitan dengan permintaan maaf Belanda kepada Rawagede.
"Apa halaman paling hitam dalam sejarah kami, sampai kami harus minta maaf sedalam-dalamnya?" tanya De Pers. Koran pagi ini menyusun "formula maaf": E = D x l dibagi J kali V, untuk menentukan negara mana paling layak menerima permintaan maaf Belanda. E adalah permintaan maaf. Semakin banyak korban tewas (D) semakin tinggi pula faktor E; semakin jauh masanya (J) semakin berkurang pula tuntutan minta maaf.
De Pers juga melihat faktor pengecut (l antara 0 dan 1): sekeji apa perbuatan Belanda, adakah korban lain selain korban tewas? Variabel terakhir adalah tanggung jawab (V, antara 0 dan 1): sejauh mana perbuatan (atau justru sikap pasif) yang menimbulkan korban tewas, merupakan dampak langsung kebijakan pemerintah? De Pers menghitung keperluan minta maaf berdasarkan formula di atas. Koran pagi ini melihat periode mulai 1830, tahun didirikannya Belanda dalam bentuk sekarang ini.
De Pers menghitung keperluan minta maaf bagi empat periode hitam: pembantaian di Rawagede; Holocaust (pemusnahan bangsa Belanda oleh Nazi Jerman) di Belanda; jatuhnya daerah kantong Srebrenica; dan sistem perbudakan di Suriname. Dari keempat peristiwa ini, Rawagede-lah yang harus dimintai maaf sedalam-dalamnya.
Pembantaian 9 Desember 1947 adalah puncak gunung es, karena di Éxcessennota' (nota ekses) masih tercatat banyak tindakan berdarah lainnya yang dilakukan tentara Belanda di Hindia Belanda. Belanda yang baru saja dibebaskan dari pendudukan Jerman, justru melakukan kekerasan selama bertahun-tahun di Hindia Belanda. Menurut De Pers 10 orang Indonesia mati untuk satu orang Belanda. Mengingat ini semua, maka, demikian De Pers, Indonesialah yang paling layak dimintai maaf secara resmi.
Sumber: http://www.kompas.com/
Bangsa yang bijaksana adalah bangsa yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Tetapi mau meminta maaf saja harus berbelit-belit, tidakkah Belanda menyadari betapa menderitanya keluarga korban pembantaian tersebut yang ditinggalkan oleh orang2 yang mereka sayangi yang menjadi korban pembantaian. Betapa banyak nyawa dan kerugian harta yang ditinggalkan oleh Belanda pada saat itu. Miris sekali perlakuan Belanda terhadap Indonesia.
BalasHapusNyatanya sekarang Belanda sudah meminta maaf kepada warga Rawagede.
BalasHapusPermintaan maaf itu disampaikan setelah pengadilan di Den Haag memutuskan bahwa negara Belanda bertanggung jawab atas pembantaian itu.
Tujuh orang janda dan seorang yang selamat dari pembantaian itu telah mengajukan kasus tersebut ke pengadilan.
Negara Belanda diperkirakan akan menawarkan konpensasi bagi para keluarga korban.
Semoga tidak ada hal lain seperti ini yang menimpa negeri kita ini. sudah cukup dengan masalah di dalam negri saja.
DEVI FLORENCI
X - B
12