Pemerintah Diminta Tolak Permintaan Maaf Belanda
JAKARTA - Sejarahwan
LIPI Anhar Gonggong mengimbau Pemerintah RI menolak permintaan maaf dari
Belanda terkait peristiwa genosida yang dilakukan tentara Belanda di
Sulawesi dipimpin Raymond Pierre Paul Westerling saat agresi Belanda
tahun 1945 hingga 1950.
Sepanjang bangsa ini masih dianggap inlander, Anhar mengimbau agar Indonesia tidak perlu berbaik-baik dengan Belanda.
"Permintaan maaf dari Pemerintahan
Belanda tidak akan menyelesaikan masalah. Kecuali Belanda memenuhi
syarat penting lainnya, yakni akui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan
baru menyampaikan permintaan maaf atas pembunuhan massal yang dilakukan
Westerling di Sulawesi dan daerah lainnya dalam kurun waktu tahun 1945
hingga 1950," kata Anhar Gonggong, di gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu
(4/9).
Selama dua hal tersebut tidak diakui
lanjutnya, sebagai ahli waris korban, Anhar Gonggong tidak akan pernah
menerima permintaan maaf tersebut. "Termasuk kompensasi dana yang
dijanjikan Pemerintah Belanda sebesar 20 ribu Euro bagi 10 ahli waris
korban kekejaman Westerling," tegasnya.
Berapa pun besarnya uang yang diberikan,
menurut Anhar Gonggong tidak akan bisa menggantikan nyawa yang
dihilangkan secara paksa melalui pembunuhan keji itu.
"Keluarga saya yang terbanyak disiksa
hingga mati oleh Westerling di Sulawesi Selatan. Dari penelusuran
sejarah, saya menemukan bahwa tindakan keji Westerling itu direstui oleh
Pangeran Belanda Bernhard," ungkapnya.
Diceritakannya, Westerling secara
sengaja ditugasi ke Sulawesi Selatan untuk menumpas gerakan sejumlah
tokoh masyarakat Sulawesi Selatan yang menolak keinginan Belanda
menjadikan Sulawesi sebagai Negara Indonesia Timur.
"Keinginan Belanda itu mendapat
perlawanan sangat kencang dari rakyat Sulawesi Selatan. Belanda
menyikapi dengan teror maka Weterling dikirim untuk melakukan teror.
Caranya membunuh massal dan kejam. Termasuk membunuh ibu-ibu hamil,"
ujar Anhar.
Diceritakan, proses pembunuhan sangat
keji. Masyarakat suatu kecamatan dikumpulkan paling sedikit 200 orang
dan disuruh menggali lobang. Lalu ditanyakan dimana para tokoh penentang
berdirinya Negara Indonesia Timur berada. "Karena tidak ada yang mau
memberi tahu, maka Westerling langsung menyiksa hingga mati dan
dimasukan ke lobang yang sudah digali sebelumnya," jelas Anhar.
Dalam konteks ini, Anhar menyebut yang
pahlawan itu sesungguhnya bukan para tokoh penentang berdirinya Negara
Indonesia Timur, tapi masyarakat yang dibunuh Westerling itu. "Kalau
saja masyarakat itu memberi tahu dimana para tokoh itu bersembunyi,
habis juga mereka," kata dia. (fas/jpnn)
Sumber: jpnn.com
Mungkin para korban,keluarga,ahli waris belum bisa menerima peristiwa genosida itu karena peristiwa itu sangat kejam sekali, para tentara belanda membantai habis-habisan,besar-besaran agar bangsa tersebut musnah dengan cara yang sangat kejam.
BalasHapusapalagi peristiwa ini direstui oleh Pangeran Belanda Bernhard.
Para korban kekejaman ini juga tidak mau peristiwa ini dibayar dengan uang seperti yang ditawarkan belanda sebagai upaya perdamaian, belum lagi mereka tidak mau mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus '45 silam.
namun apa boleh buat permusuhan tidak akan selesai jika tidak ada jalan keluar atau perdamaian Karena pada masa revolusi itu pasti semua bangsa di dunia juga pernah merasakannya,dan jangan sampai semua ini jadi balas dendam berlanjut karena hampir semua negara di dunia sudah mempunyai jalan perdamaian, namun jangan sampai INDONESIA damai dengan israel :D yang selalu berusaha menghancurkan ISLAM.
Untuk para korban-korban ( keluarga atau ahli waris ) seharusnya diberikan sebuah imbalan karena berkat mereka Indonesia masih bisa tetap bersatu dan tidak terbentuk Negara indonesia timur, namun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Raesyafu Al Mizan
XI IPA 2
SMAN 20 Bandung